I made this widget at MyFlashFetish.com.

Minggu, 29 Agustus 2010

Belajar Banyak Dari Cerita Anak-Anak


Walaupun biasanya berisi hal-hal yang standar dan itu-itu aja, cerita anak-anak bisa berpengaruh banyak buat perkembangan remaja kebanyakan. Kenapa? Karena ya, cerita anak-anak banyak mengandung nilai moral yang sudah selayaknya kita pelajari dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itulah, seharusnya kita nggak usah malu buat mbaca-mbaca cerita-cerita anak kecil. Kenapa? Karena banyak hal yang terjadi di dunia dirangkum dalam beberapa paragraf sederhana di dalam cerita anak-anak itu.
Fairytales? Legends? Myths? Story of Friendship? Banyak lagi macam-macam cerita anak yang bisa dijadikan referensi hidup kita. Dari pelajaran persahabatan, cinta, kasih sayang kepada orang tua sampai cara-cara sederhana untuk bertahan hidup. Semuanya bisa kita temukan di dalam cerita anak-anak. Makanya jangan malu untuk menambah pengetahuanmu lewat cerita anak-anak.
Coba buka link ini, kamu bisa menemukan banyak cerita yang bagus dari seluruh dunia. Selamat membaca!

Cerita Pertama

Jadi begini.
Dua kata itu bisa berbeda-beda artinya jika orang, nada, dan situasinya berbeda. Tentu penafsiran masing-masing situasi juga tergantung masing-masing orang. Orang juga berbeda-beda. Untuk menyederhanakan, hanya akan diambil dua macam, si optimis dan si pesimis.
Situasi pertama begini.
Seorang wanita berumur awal dua puluhan sedang duduk di atas sebuah kursi kayu yang dicat merah. Mata sebelah kanannya tertutup rapat oleh perban, rambutnya yang hitam sedikit tergerai di atas perban putih itu. Di tulang pipi kanannya tampak sedikit bekas luka, entah goresan atau apa. Wanita itu memakai blus berlengan panjang, maka jika tak jeli melihatnya, tak akan ada yang menyadari beberapa jari tangan kanannya hilang. Hilang. Menyisakan luka bekas operasi serta jari jempol dan telunjuk. Lainnya raib.
Wanita itu juga memakai rok panjang berwarna hitam, maka jika tak jeli melihatnya, tak akan ada yang menyadari sepasang kaki yang tersembul di baliknya itu tidaklah sama. Kaki sebelah kiri itu adalah sebuah kaki kurus berkulit pucat memakai sebuah kaos kaki berwarna hitam panjang selutut dan sepatu putih bertali satu. Kaki sebelah kanan juga memakai aksesoris yang sama, maka jika rok itu tak tersibak atau kaos kaki hitam selutut itu tidak diturunkan, tak akan ada yang tahu benda di dalamnya adalah sepotong kaki besi buatan manusia yang tentu jauh dari sempurna. Kaki besi dengan engsel dan bukan sendi. Kaki besi yang berwarna silver mengkilap dan bukan pucat seperti yang sebelah kiri.
Kalau pun orang sudah jeli dan menyadarinya, tetap tak ada yang tahu apa gerangan yang menyebabkan kondisi si wanita menjadi semengenaskan itu. Si wanita itu sendiri hampir tidak pernah mengasihani dirinya sendiri, apalagi menganggap kondisinya mengenaskan.
Kalau pun ada orang yang berhasil membujuknya untuk bercerita, wanita itu hanya akan tersenyum sambil berkata,
“Kecelakaan. Cuma kecelakaan kecil. Tak disengaja.”
Hari ini pun, di hari pertama dia bekerja setelah pulih dan keluar dari perawatan rumah sakit, dia mendapatkan pertanyaan-pertanyaan tak terhitung jumlahnya. Menanyakan hal yang sama. Hanya saja kali ini dia menyambut pertanyaan ini bukan hanya dengan senyuman, tetapi juga dengan cerita karangan yang dibuat sedemikian riangnya.
Karena hari ini tidak boleh disia-siakannya sedetikpun. Karena hari ini adalah hari pertamanya menjadi guru TK.
“Jadi Ibu Guru ditolong kucing?”
“Iya, kucing yang manis dan baik hati.”
“Jadi kucingnya bawa Ibu Guru ke rumah sakit?”
“Nggak. Tapi kucingnya memanggil banyak orang buat menolong Ibu.”
“Kucingnya manaaa? Dia jelmaan pangeran negeri dongeng?”
Wanita itu tertawa melihat tingkah polah anak-anak berusia empat tahun di depannya.
“Ya sudah ya, sekarang kita baca cerita saja. Siapa yang mau dengar cerita?”
“Aku Buuu! Akuuuu!”
Wanita itu tersenyum kembali. Diambilnya buku gambar berisi cerita bergambar warna-warni. Ditunjukkannya buku itu kepada anak-anak yang duduk di depannya.
Sambil membalikkan sampul buku gambar itu, dia berkata,
“Jadi begini…”
Bagi si pesimis, di awal gambaran situasi saja dia akan langsung mengira wanita tadi adalah wanita cacat korban kecelakaan yang sedang dirawat di bangsal khusus di rumah sakit, atau di rumahnya sendiri, merenungi nasib malang yang menimpa dirinya.
Bagi si optimis, dia akan meneruskan membaca sampai ke akhir situasi, dan tersenyum sambil mengambil moral yang didapatnya dari si wanita.
Situasi kedua.
Seorang nenek duduk di sebuah kursi roda yang menghadap ke jendela besar yang disirami cahaya matahari sore yang hangat keemasan. Kepalanya yang tertutup sepenuhnya oleh rambut putih nan tipis terkulai lemah ke sisi kirinya. Matanya menatap sayu ke arah kebun bunga di depan jendelanya. Seorang pemuda berkulit agak cokelat tampak sedang mengurusi kebun itu. Pemuda itu memakai topi caping kecil dan sehelai handuk digantungkan di lehernya. Peralatan perkebunan ditaruh di dalam baskom di sampingnya.
Selain itu sepi. Rumah si nenek hanyalah rumah sederhana yang nyaman, namun sangat sepi.
Si nenek menghela napas,
“Jadi begini...”
Orang yang pesimis akan mengira si nenek sedang mengasihani nasibnya yang ditinggal sendiri oleh keluarganya. Mungkin semua anaknya sudah sukses dan tak pernah mengunjunginya lagi. Mungkin suaminya sudah meninggal, dan mungkin dia menderita sakit yang cukup parah sehingga membuatnya harus duduk di kursi roda. Bahkan untuk mengurus kebunnya saja dia harus meminta bantuan tukang kebun…atau tetangga yang bersimpati atas nasibnya. Dan mungkin saja setiap hari harus ada seorang pengurus rumah yang datang ke rumahnya, mengurusi setiap kebutuhannya karena tubuhnnya yang sakit tak mampu mengurus semua hidupnya sendiri.
Tapi orang yang optimis akan menepis asumsi seperti itu dan percaya akan ada cerita yang sama sekali lain di kehidupan si nenek. Orang yang optimis akan percaya dan sabar menunggu sampai akhir cerita.
Ketika si nenek tersadar akan lamunan singkatnya, pemuda itu sudah tidak ada lagi. Pemandangan yang tersisa hanyalah halaman samping rumahnya yang dipenuhi bunga-bunga indah berwarna-warni yang dibatasi pagar kayu bercat putih. Terdengar derit pintu yang terbuka dan sesaat kemudian seseorang muncul di samping kirinya.
“Selamat sore, istriku…”
Ternyata ‘pemuda’ di taman tadi. Dan bukannya pemuda, orang itu adalah seorang laki-laki berumur hampir tujuh puluhan, berkaos putih dan bercelana pendek. Topi capingnya tergantung di belakang lehernya. Di tangannya tergenggam sesuatu berwarna merah muda.
“Selamat ulang tahun pernikahan kita, Sayang. Yang keberapa?”
Si nenek melirik ke arah kakek yang rambut putihnya dipotong sangat pendek dan wajah tuanya penuh guratan senyum itu.
“Aku bercanda. Selamat ulang tahun ke 59, Sayang…” kata si kakek sambil mengulurkan segenggam bunga tulip merah muda, dan kemudian mengecup lembut kepala si nenek, penuh dengan rasa sayang yang sanggup membuat pasangan manapun di seluruh dunia cemburu.
“Jadi beginilah…hidupku yang indah,” batin si nenek sambil tersenyum lemah. Lamah, namun kentara sekali bahagia.
Situasi ketiga.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan berdiri dalam diam di puncak sebuah bangunan. Bangunan itu cukup tinggi sehingga pemandangan malam yang terlihat melulu puncak gedung lain dan kerlap-kerlip lampu.
Tak ada sedikitpun keceriaan yang terlihat pada kedua orang itu. Dari semenjak mereka berdua tiba di tempat yang bisa disebut atap itu, tak sepatah kata yang keluar. Bahkan dari raut wajah si perempuan terlihat kesedihan. Yang cukup mendalam. Mata si perempuan sembap, mungkin oleh airmata. Meskipun kedua tangannya bersedekap, sesekali jemarinya mengusap airmata yang nyaris jatuh di pipinya.
Si laki-laki lain cerita. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. Sesekali dia melirik si perempuan, terlihat ada yang sangat ingin dikatakannya, tapi entah karena alasan apa, kata-kata itu tertahan.
“Maaf, Sayang…” kata si laki-laki akhirnya. Pelan.
“Jadi begini?” tanya si perempuan, setengah berbisik.
Di mata orang yang pesimis, jelas sekali mereka sedang bentrok dalam suatu masalah pelik. Mungkin sekali si laki-laki selingkuh di belakang si perempuan dan menyakitinya begitu parah. Dan bukannya tidak mungkin mereka akan berakhir dalam sebuah perpisahan.

Laki-laki itu menghela napas. Lalu melihat ke arah Kahlil yang masih sesekali sesenggukan. Dia menunggu Kahlil mengatakn sesuatu, karena sejak tadi dia bercerita, tak sekalipun Kahlil berbicara.
“Lil…” Dia mencoba memanggil Kahlil.
Masih belum ada tanggapan. Setelah beberapa saat, Kahlil pun akhirnya bersuara.
“Kalau… kalau orang yang optimis?” tanya Kahlil dengan suara bergetar.
Laki-laki itu menghela napas.
“Kalau orang yang optimis…dia nggak akan meragukan si laki-laki. Dia akan menunggu dan percaya, karena laki-laki itu orang yang perempuan itu cintai. Begitu juga sebaliknya.”
“Gimana saya bisa percaya lagi sama kamu? Nggak bisa…maaf.”
Kahlil mengusap air matanya yang kembali mengalir.
“Saya tahu saya benar-benar terlihat salah tadi siang. Saya memang salah, karena masih menanggapi dia. Tapi kamu perlu tahu, Lil. Saya bukan menanggapi dia untuk kembali,” kata laki-laki itu.
“Kamu yang minta untuk bertemu dengan dia kan? Dan jangan membela diri kamu sendiri. Kamu yang bilang kemarin kalau kamu masih sayang sama dia…”
“Apa saya yang bilang ke kamu? Seandainya pun itu benar, kemarin ya kemarin. Kamu nggak tahu, Lil, ada banyak sekali yang bisa terjadi dalam satu hari. Memang saya yang minta untuk bertemu dengan dia. Tapi seperti yang saya bilang tadi, saya bertemu dia bukan untuk kembali lagi.”
“Jadi apa?” tukas Kahlil.
“Karena saya ingin memberitahunya, kalau saya akan melamar kamu.”
Kahlil menoleh dengan cepat. Laki-laki terlihat bersungguh-sungguh. Dari dalam saku celananya, dia mengeluarkan sebuah kotak mungil.
“Saya percaya kamu orang yang optimis, Lil. Karena saya pun orang yang optimis…”
Kahlil menatap kotak mungil di tangan laki-laki itu sambil menahan napasnya.
“…kalau kamu akan menerima saya…lagi. Kali ini, sebagai calon suami kamu.”